Selasa, 24 Maret 2009

Bulugh al-Maram

Mengkaji Kitab
al-Maqshad al-‘Ali fi Zawaid Abu Ya’la
Karya Ali Abu Bakar al-Haistami (W. 807 H)



Sebagaimana yang kita ketahui bahwa kajian Hadis telah mengalami perkembangan sepanjang sejarah dan melewati beberapa fase yang berbeda-beda yang di mulai sejak Rasulullah SAW masih hidup sampai zaman kita sekarang. Muhammad Abu Zahwu telah membagi fase perkembangan Hadis tersebut secara global menjadi tujuh periode, pertama, perkembangan Hadis pada masa Rasulullah SAW, kedua, perkembangan Hadis pada masa khilafah al-rasyidah, ketiga, perkembangan Hadis pasca khilafah al-rasyidah sampai penghujung abad pertama hijriyah, keempat, perkembangan Hadis pada abad kedua hijriyah, kelima, perkembangan Hadis pada abad ketiga hijriyah, keenam, perkembangan Hadis sejak abad keempat sampai tahun 656 Hijriyah, dan ketujuh, perkembangan Hadis sejak tahun 656 Hijriyah sampai masa sekarang.[1]
Dari klarifikasi fase di atas, kitab Zawaid[2] termasuk ke dalam fase ketujuh dan ia termasuk salah satu kitab Hadis yang paling penting setelah kitab-kitab Hadis lainnya yang populer di kalangan para pelajar. Hal ini disebabkan karena kitab ini mencakup Hadis-hadis yang tidak diriwayatkan oleh para pengarang kitab Hadis popular yang lain. Salah satu contoh kitab zawaid adalah kitab yang akan kita kaji berikut ini.

A. Biografi al-Haitsami
Nama lengkap al-Haitsami adalah Ali bin Abu Bakar bin Sulaiman bin Abu Bakar bin ‘Amar bin Shalih. Laqabnya (julukan) adalah Abu al-Hasan, kuniyahnya adalah Nuruddin dan ia lebih dikenal dengan panggilan al-Haistami. Ia lahir di Mesir pada bulan Rajab tahun 735 H dan meninggal di Mesir pula pada bulan Ramadhan tahun 807 H.
Orang tuanya adalah pedagang di gurun pasir dan ia menyerahkan putranya al-Haitsami untuk dididik kepada orang yang mengajarinya membaca al-Quran yaitu Zainudin al-‘Iraqi. Bersama gururnya al-‘Iraqi, Abu Bakar al-Haitsami berangkat ke Mekah, Madinah, Damaskus dan daerah lainnya untuk menuntut ilmu khususnya ilmu Hadis. Pada akhirnya Abu Bakar al-Haitsami menjadi orang alim, hafidz dan zuhud.
Karena itu, Al-‘Iraqi sangat menyayangi dan percaya kepada keilmuan al-Haitsami, sehingga ia terkadang menyuruh Abu Bakar al-Haitsami untuk menggantikannya dalam mengurus beberapa urusannya, yang pada akhirnya ia menikahkan al-Haitsami dengan putrinya yang bernama Khadijah.[3]
Termasuk karya-karya al-Haitsami adalah:
- Majma al-Zawaid Wa Mamba’ al-Fawaid Fi al-Zawaid ‘Ala al-Kutub al-Sittah
- Mawarid al-Dham’an Fi Zawaid Shahih Ibn Hiban
- Zawaid Sunan al-Daruquthni
- Zawaid Ibn Majah ‘Ala al-Kutub al-Khamsah
- Ghayah al-Maqsad Fi Zawaid Ahmad
Dari beberapa karyanya di atas, jelas bahwa al-Haitsami memiliki perhatian yang besar dan khusus terhadap Zawa’id.

B. Mengkaji Kitab al-Maqsad al-‘Ali Fi Zawaid Abu Ya’la
Nama lengkap kitab ini adalah al-Maqsad al-‘Ali Fi Zawaid Abu Ya’la, sebagaimana disebutkan secara langsung oleh penulisnya al-Haitsami dalam muqadimah kitab tersebut.
Di dalam muqadimah kitab tersebut juga disebutkan bahwa salah satu sebab yang melatarbelakangi al-Haitsami dalam menyusun kitab ini adalah karena kitab Musnad Abu Ya’la yang ia baca memiliki banyak faidah yang tidak diketahui oleh orang-orang. al-Haitsami berkata, “Saya telah membaca kitab Musnad Abu Ya’la dan saya melihat faidah yang banyak di dalam kitab tersebut yang tidak diketahui oleh orang-orang. Karenanya saya ingin mengumpulkan faidah-faidah tersebut sesuai dengan urutan bab-bab kitab fiqih”.[4]
Adapun secara umum, menurut penelitian Muhammad Abu Zahwu dalam kitabnya al-Hadits Wa al-Muhaditsun menyebutkan bahwa pada fase ini yakni fase ketujuh dari perkembangan Hadis, faktor politiklah yang memiliki peran yang mendominan bagi para ulama sebagai latar belakang dalam menyusun sebuah kitab dan corak dari kitab tersebut. Menurut beliau, setelah khilafah ‘Abasiyah berhasil diruntuhkan oleh tentara Mongol pada tahun 656 H, kemudian disusul dengan penghancuran kota Baghdad yang dilakukan oleh Hulaku (salah satu pemimpin Mongol) selama 40 hari, rihlah ilmiyah para ulama ke berbagai daerah Islam menjadi terhenti dan terputus. Keadaan seperti ini, pada akhirnya menjadikan riwayah syafahiyah pun ikut terputus. Sehingga, para ulama pada fase ini hanya menekuni dan mengkaji kitab-kitab ulama terdahulu dengan cara mengkumpulkan, meringkas, mensyarahi, mentakhrij hadis-hadisnya dan lain sebagainya, seperti Al Bushairi (840 H) yang menyusun kitab zawa’id, As Sakhawi (902 H) yang menyusun kitab al Maqasid al Hasanah, As Suyuti (911 H) yang menyusun kitab Jam’ul Jawami’ dan lain sebagainya[5].

Metode Penulisan Kitab al-Maqsad al-‘Ali Fi Zawaid Abu Ya’la
Adapun mengenai metode penulisan kitab, al-Haitsami juga menyebutkannya dalam muqadimah kitabnya. Ia berkata, “Saya menyusun kitab ini sesuai dengan urutan bab yang terdapat dalam kitab fiqih agar memudahkan bagi saya pribadi dan bagi para pembaca. Kemudian saya menyebutkan Hadis diriwayatkan oleh Abu Ya’la namun tidak diriwayatkan oleh ashhab kutub al-khamsah (al Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al Nasa’i dan at Tirmidzi) secara sempurna. Adapun mengenai Hadis yang sama-sama diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan ashhab kutub al-khamsah¸ namun terdapat tambahan redaksi, maka saya juga menyebutkannya, kemudian saya memberikan peringatan terhadap tambahan tersebut dengan redaksi “Hadis ini diriwayatkan oleh fulan namun tidak terdapat ucapan yang seperti ini”. Contohnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan redaksi
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفْتِنَا فِي بَيْتِ الْمَقْدِسِ فَقَالَ ائْتُوهُ فَصَلُّوا فِيهِ وَكَانَتْ الْبِلَادُ إِذْ ذَاكَ حَرْبًا فَإِنْ لَمْ تَأْتُوهُ وَتُصَلُّوا فِيهِ فَابْعَثُوا بِزَيْتٍ يُسْرَجُ فِي قَنَادِيلِهِ[6]
Wahai rasulullah, berikanlah kami fatwa tentang bait al Maqdis, maka Rasulullah saw bersabda:
“Datangilah ia, shalatlah di dalamnya, jika di negeri itu terdapat peperangan apabila engkau tidak mengunjunginya dan dan belum shalat disana, maka ambillah zaitun yang dijadikan minyak dari tumbuhannya”.
Namun, dalam Musnad Abu Ya’la dari riwayat Maimunah isteri Nabi terdapat tambahan redaksi sebagai berikut:
يا رسول الله أفتنا في بيت المقدس قال هو أرض المحشر وأرض المنشر ائتوه فصلوا فيه فإن صلاة فيه كالف صلاة، قلنا يا رسول الله فمن لم يستطع أن يتحمل إليه قال من لم يستطع أن يأتيه فليهد إليه زيتا يسرج فيه فإن من أهدى إليه زيتا كان كمن قد أتاه[7]
Wahai rasulullah, berikanlah kami fatwa tentang bait al Maqdis, maka Rasulullah saw bersabda: “Ia adalah tanah tempat berkumpul, tanah tempat menghidupkan makhluk, datangilah ia, shalatlah di dalamnya, kami berkata: wahai Rasulullah, jika tidak mampu melaksanakannya?, Rasulullah bersabda: siapa yang tidak mampu mendatanginya, hendaklah hadiahkan padanya zaitun yang dijadikan minyak, Sesungguhnya siapa yang telah dihadiahkan zaitun maka ia bagaikan telah mengunjunginya.”
Selain itu, metodologi yang lainnya adalah sebagai berikut:[8]
a. Menyebutkan Hadis dengan sanad yang dimiliki Abu Ya’la sampai kepada akhir sanad tersebut.
b. Tidak memberikan komentar apapun terhadap suatu Hadis, terkait fiqih, bahasa dan maksud hadis tersebut.
c. memberikan keterangan terkait matan jika terdapat perbedaan antara riwayat Abu Ya’la dengan mukharrij lain, atau jika terjadi peringkasan matan.
d. Memulai penulisan Hadis dengan diawali oleh kitab (bab) al-Iman dan diakhiri dengan kitab (bab) al-Zuhd.
e. Jika ada Hadist yang sanad atau matannya sama, al Haitsami tidak menyebut ulang, beliau hanya mengisyaratkan dengan ungkapan seperti:
فذكر نحوه





Daftar Pustaka

Abu Ya’la, Ahmad bin Ali, Musnad Abu Ya’la, Damaskus: Dar al-Ma’mun li al- Turas, 1404 H
Abu Zahwu, Muhammad, al-Hadis Wa al-Muhadisun, Beirut: Dar Al Fikr Al ‘Arabi, t.th
al-Haitsami, Abu Bakar, al-Maqsad al-‘Ali Fi Zawaid Abu Ya’la, Beirut: Dar al- Kutub al-‘Ilmiyah, 1413 H / 1993 M
al-Sajastani, Sulaiman bin al-Asy’ats Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Beirut: Dar al- Fikr, t.tt
al-Tahan, Mahmud, Ushul al-Takhrij Wa Dirasah al-Asanid, Riyadh: Maktabah: al- Ma’arif, 1417 H





















Mengkaji Kitab Bulugul Maram
Karya Ibnu Hajar al ‘Asqalani (W 852 H)

A. Pendahuluan
Kajian Hadis telah mengalami perkembangan sepanjang sejarah dan melewati beberapa fase yang berbeda-beda yang di mulai sejak Rasulullah SAW masih hidup sampai zaman kita sekarang. Setiap fase, memiliki corak dan metode yang berbeda dengan periode yang lainnya. Hal tersebut disesuaikan dengan situasi dan kondisi juga kebutuhan umat Islam akan hadis. Secara global, kita bisa membagi fase perkembangan hadis tersebut menjadi tujuh periode. Pertama, perkembangan hadis pada masa Rasulullah SAW, kedua, perkembangan hadis pada masa khilafah ar rasyidah, ketiga, perkembangan hadis pasca khilafah ar rasyidah sampai penghujung abad pertama hijriyah, keempat, perkembangan hadis pada abad kedua hijriyah, kelima, perkembangan hadis pada abad ketiga hijriyah, keenam, perkembangan hadis sejak abad keempat sampai tahun 656 Hijriyah, dan ketujuh, perkembangan hadis sejak tahun 656 Hijriyah sampai masa sekarang[9].
Kitab hadis yang sedang kita kaji ini adalah kitab yang termasuk kepada fase ketujuh dari periode perkembangan hadis. Tentu saja latar belakang dan metode penulisan kitab tersebut tidak sama dengan fase-fase sebelumnya. Secara umum, pembahasan ini juga mencakup kajian tentang biografi Ibnu Hajar al ‘Asqalani sebagai pengarang kitab tersebut, latar belakang penyusunan dan metode penulisannya, kualitas hadis dalam kitab tersebut, pendapat para ulama dan kitab-kitab yang mensyarahi kitab tersebut.

B. Biografi Ibnu Hajar al ‘Asqalani
Nama lengkap beliau adalah Shihabudin Abu al Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Hajar al Kanani al ‘Asqalani al Misri. Laqab (julukan) beliau adalah Shihabudin sedangkan kuniyahnya adalah Abu al Fadhl. Guru beliau yang bernama al ‘Iraqi dan Abu Ja’far memberikan kuniyah “Abu al ‘Abbas”, namun kuniyah yang pertama lebih populer dari pada kuniyah yang kedua karena yang memberikan kuniyah tersebut adalah orang tuanya sendiri. Beliau dilahirkan di Mesir pada bulan Sya’ban tahun 773 Hijriyah dan meninggal di Mesir pada bulan Dzulhijjah tahun 852 H[10].
Sejak umur empat tahun, beliau menjadi anak yatim piatu, dan sejak saat itu beliau diasuh dan dididik oleh Zakiyudin Abu Bakar bin Nurudin Ali al Kharubi yang meninggal pada tahun 787 H. Keluarga beliau adalah keluarga yang menyeimbangkan antara berdagang sebagai mata pencaharian dan menuntut ilmu pengetahuan.
Sejak umur 9 tahun, beliau sudah hafal al Quran dan ketika umur beliau 12 tahun, beliau pergi bersama al Kharubi ke Mekah. Setelah 13 tahun belajar di Mekah, beliau kembali ke Mesir dan sudah hafal kitab ‘Umadatul Ahkam karya al Maqdisi, kitab Al Hawi Ash Shagir karya al Qazwini, kitab Mukhtashar Ushul fiqh karya Ibnu Hajib, kitab Manhaj al Wushul karya al Baidhawi, kitab Alfiyah al Hadis karya al ‘Iraqi, kitab Alfiyah karya Ibnu Malik, kitab At Tanbih fi Furu’i Asy Syafi’iyah karya Asy Syairazi dan lain sebagainya[11].
Kemudian, pada usia 25 tahun, beliau menikah dengan seorang perempuan yang bernama Anis binti al Qadhi Karimudin Abdul Karim bin Abdul Aziz.
Ibnu Hajar al ‘Asqalani adalah seorang alim yang merasa tidak puas dengan ilmu pengetahuan yang ada di tempat kelahirannya. Sehingga, beliau senang untuk bepergian menuntut ilmu ke tempat lain. Pada tahun 793 H, beliau berangkat menuju kota “Qus” dan kota-kota lain yang berada di dataran tinggi. Dan pada tahun 797 H, beliau berangkat ke Iskandariyah kemudian belajar kepada Syamsudin bin al Jazari. Apa yang beliau dapatkan dari rihlah ilmiyah di Iskandariyah tersebut, beliau kumpulkan dalam kitab yang bernama “ad Durar al Mudhi’ah Min Fawaidh al Iskandariyah”[12].
Setelah itu, pada tahun 799 H, beliau kembali ke Mesir dan pada tahun itu pula beliau berangkat lagi ke Hijaz dan Yaman dan di sana beliau bertemu dengan sejumlah ulama besar dan belajar kepada mereka, seperti Najmudin Muhammad bin Abu Bakr al Misri yang populer dengan sebutan “al Marjani”, Shalahudin Khalil bin Muhammad al Aqfahsi, Abu Bakar Muhammad bin Shaleh bin al Khayath dan Ibnu al Muqri.
Pada tahun 802 H, beliau berangkat menuju Syam dan di sana beliau mempelajari kitab “al Mu’jam al Ausath” karya Ath Thabrani, kitab “Ma’rifatu Shahabah” karya Ibnu Mandah, Sunan Daruqutni, Muwatha Malik, Shahih Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Hiban dan kitab-kitab hadis dan rijal hadis yang lainnya.
Setelah itu beliau mengajarkan ilmu-ilmu agama seperti ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu fiqih dan lain sebagainya di berbagai madrasah dan tempat yang berbeda-beda. dan memberikan berbagai fatwa dan ceramah-ceramah agama. Kemudian, pada tahun 826 H, beliau diangkat menjadi qhadi selama kurang lebih 21 tahun[13].
Karya tulis beliau mencapai lebih dari 150 kitab, di antaranya adalah:
- Tuhfatul Fikr Fi Mushthalahi Ahli al Fikr
- An Nukat ‘Ala Alfiyah al ‘Iraqi
- Al Ifshah Bi Takmili an Nukat ‘Ala Ibnu Shalah
- Tahdzib at Tahdzib
- Lisan al Mizan
- Taqrib at Tahdzib
- Ta’rif Ahli Taqdis Bi Maratib al Maushufin Bi at Tadlis
- Hadyu as Sari
- Fathul Bari Bi Syarh Shahih al Bukhari
- Bulugul Maram Min Adilatil Ahkam


Beberapa Guru Ibnu Hajar al ‘Asqalani[14]
Guru Dalam Bidang al Quran
- Ibrahim bin Ahmad bin Abdul Wahid at Tanukhi asy Syami (W 800 H)
- Muhammad bin Muhammad bin Muhammad ad Dimasyqi al Jazari (W 833 H)
- Abu Bakr bin Abdul Aziz bin Jama’ah al Hamawi al Misri (W 819 H)

Guru Dalam Bidang Hadis
- Abdullah bin Muhammad bin Muhammad bin Sulaiman an Naisaburi yang dikenal dengan nama an Nasyawari (W 790 H)
- Muhammad bin Abdullah al Makhzumi (W 817 H)
- Abu Fadhl Abdurahim bin al Husain al ‘Iraqi (W 806 H)

Guru Dalam Bidang Fiqih
- Ibrahim bin Musa Burhanudin al Abnasi asy Syafi’I (W 802 H)
- Amr bin Ali bin Ahmad bin al Mulaqin asy Syafi’I (W 704 H)
- Abu Hafsh al Bulqini (W 805 H)

C. Mengkaji Kitab Bulugul Maram
Nama lengkap kitab ini adalah “Bulugul Maram Min Adilatil Ahkam” sebagaimana disebutkan langsung oleh pengarangnya sendiri pada pembukaan kitab Bulugul Maram[15]. Kitab ini termasuk ke dalam klarifikasi kitab-kitab hukum yaitu kitab yang hanya mencakup hadis-hadis hukum, di mana pengarangnya memilih hadis-hadis tersebut dari kitab-kitab induk dalam mushanafat dan menyusunnya sesuai dengan urutan bab yang terdapat dalam kitab fiqih[16].
Walaupun kitab tersebut khusus membahas hadis-hadis hukum, namun Ibnu Hajar pada akhir kitab menulis bab-bab yang penting mengenai adab (etika), akhlak, dzikir dan doa sebagai pelengkap kitab tersebut.
Di sini, penulis tidak menemukan rujukan yang secara langsung menyebutkan latar belakang Ibnu Hajar al ‘Asqalani dalam menyusun kitab Bulugul Maram. Namun, sebagaimana disebutkan di muka, bahwa kitab ini adalah kitab yang disusun pada fase ketujuh dari periode perkembangan hadis. Maka, dengan menelusuri perkembangan hadis pada fase tersebut, kita bisa menemukan beberapa indikasi Ibnu Hajar al ‘Asqalani dalam menyusun kitab Bulugul Maram.
Muhammad Abu Zahwu dalam kitabnya menyebutkan bahwa pada fase ini, faktor politik memiliki peranan yang mendominan bagi para ulama sebagai latar belakang dalam menyusun sebuah kitab dan corak dari kitab tersebut. Menurut beliau, setelah khilafah ‘Abasiyah berhasil diruntuhkan oleh tentara Mongol pada tahun 656 H, kemudian disusul dengan penghancuran kota Baghdad yang dilakukan oleh Hulaku (salah satu pemimpin Mongol) selama 40 hari, rihlah ilmiyah para ulama ke berbagai daerah Islam menjadi terhenti dan terputus. Keadaan seperti ini, pada akhirnya menjadikan riwayah syafahiyah pun ikut terputus[17].
Sehingga, para ulama pada fase ini hanya menekuni dan mengkaji kitab-kitab ulama terdahulu dengan cara mengkumpulkan, meringkas, mensyarahi, mentakhrij hadis-hadisnya dan lain sebagainya, seperti al Bushairi (840 H) yang menyusun kitab zawa’id, as Sakhawi (902 H) yang menyusun kitab al Maqasid al Hasanah, as Suyuti (911 H) yang menyusun kitab Jam’ul Jawami’ dan lain sebagainya. Selain itu, perhatian orang-orang terhadap hadis semakin berkurang dan mayoritas dari mereka hanya menekuni pembahasan-pembahasan yang berkaitan dengan furu’ (cabang)[18].
Dari paragraf di atas, ada indikasi bahwa faktor yang melatarbelakangi Ibnu Hajar al ‘Asqalani dalam menyusun kitab Bulugul Maram adalah terputusnya rihlah ilmiyah para ulama ke berbagai daerah Islam -yang juga menyebabkan terputusnya riwayah syafahiyah- dan perhatian orang-orang yang cenderung lebih besar untuk mengkaji berbagai permasalahan furu’ (cabang).

Metode Penulisan Kitab Bulugul Maram
1. Sebagaimana disebutkan di atas, kitab Bulugul Maram termasuk ke dalam klarifikasi kitab-kitab hukum, sehingga metode penulisan kitab ini adalah sesuai dengan urutan bab yang terdapat dalam kitab fiqih. Dalam pembukaan kitab ini, Ibnu Hajar menegaskan bahwa kitab ini adalah kitab mukhtasar yang mencakup kepada pokok-pokok hadis hukum[19].
2. Sedangkan, dalam pembukaan kitab Subul as Salam (salah satu kitab syarah Bulugul Maram yang paling populer), disebutkan bahwa dalam kitab ini Ibnu Hajar al ‘Asqalani mengumpulkan hadis-hadis hukum yang dijadikan istinbath oleh para ulama fiqih kemudian beliau menyebutkan perawi hadis tersebut dengan redaksi “Akhrajahu al Bukhari” atau “Rawahu Muslim”[20].
Contoh :
عن أبي مرثد الغنويّ رضي الله عنه قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : { لاتصلوا إلى القبور ولا تجلسوا عليها }، رواه مسلم[21].
Dari Abu Martsad alghanawi Radhiallahu ‘Anhu. Ia berkata : Saya mendengar Rasulullah s.a.w bersabda:
“Janganlah kamu sembahyang menghadap kubur dan janganlah duduk di atasnya”. Diriwayatkan oleh Muslim.
3. Untuk hadis-hadis yang sama-sama diriwayatkan oleh beberapa perawi yang berbeda, terkadang beliau cukup menyebutkannya dengan istilah sebagai berikut[22]:
- “As Sab’ah” yang berarti Ahmad, al Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, at Tirmidzi dan an Nasa’i.
- “As Sitah” yang berarti selain Ahmad.
- “Al Khamsah” atau“Al Arba’ah Wa Ahmad” yang berarti selain al Bukhari dan Muslim.
- “Al Arba’ah” yang berarti selain Ahmad, al Bukhari dan Muslim.
- “Ats Tsalah” yang berarti Abu Dawud, Ibnu Majah dan at Tirmidzi.
- “Mutafaq ‘Alaih” yang berarti al Bukhari dan Muslim.
Contoh :
وعن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم { اقتلوا الأسودين في الصلاة : الحية والعقرب } أخرجه الأربعة وصححه ابن حبان[23].
Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata: Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Bunuhlah dua (macam binatang) yang hitam di dalam sembahyang; ular dan kalajengking”. Di keluarkan oleh imam empat dan disahkan oleh Ibnu Hibban.
4. Selain itu, beliau juga menyebutkan berbagai kualitas hadisnya, seperti shahih, hasan atau dha’if[24]. Menurut pengakuan beliau, tujuan dalam menyebutkan para perawi hadis adalah sebagai nasihat kepada umat[25]. Menurut ash Shan’ani, yang dimaksud dengan “nasihat kepada umat” adalah, pertama, penjelasan bahwa hadis tersebut benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang menjadi rujukan umat Islam, kedua, penjelasan bahwa hadis tersebut telah digunakan oleh para ulama yang lain dalam berhujjah, ketiga, penjelasan bahwa beliau telah menyebutkan jalur periwayatan dan kualitas hadis tersebut, keempat, petunjuk kepada para pembaca agar merujuk kepada kitab-kitab yang dijadikan rujukan oleh kitab mukhtasar ini.

Contoh :
وعن المغيرة بن شعبة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : { امرأة المفقود امرأته حتى يأتيها البيان } أخرجه الدار قطني بإسناد ضعيف[26].
Dari mughirah bin Syu’bah ia berkata ; Rasulullah s.a.w. bersabda: “Perempuan yang kehilangan suaminya itu tetap istri suaminya itu sehingga datang padanya keterangan (tentang suaminya)”. Diriwayatkan oleh Daruqutny dengan sanad lemah.
5. Kemudian, di akhir kitab tersebut, Ibnu Hajar menulis bab-bab yang penting yang berkaitan dengan adab (etika), akhlak, dzikir dan doa sebagai pelengkap bagi kitabnya.
Contoh :
عن ابن عمر رضي الله عنه أنّ رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : إذا أكل أحدكم فاليأكل بيمينه، وإذا شرب فاليشرب يمينه، فإن الشيطان يأكل بشماله ويشرب بشماله} أخرجه مسلم[27].
Dari Ibnu ‘Umar r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda:
“apabila seseorang di antara kalian makan, hendaklah ia makan dngan tangan kanannya, dan apabila minum, minumlah dengan tangan kanannya, sebab setan makan dengan tangan kirinya dan minumpun dengan tangan kirinya”. Dikeluarkan oleh Muslim.
6. Ibnu Hajar tidak menyebutkan sanad secara lengkap, Beliau hanya menyebutkan mukharrij dan rawi pertama (Shahabat).
Contoh:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يغسل أحدكم في الماء الدائم وهو جنب . أخرجه مسلم [28].
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata; Rasulullah s.a.w. Bersabda:
“Janganlah seseorang diantara kamu mandi di dalam air yang diam, sedangkan ia junub”. Dikeluarkan oleh Muslim.
7. Memberikan penilaian dan komentar pada hadist-hadist yang diriwayatkan oleh selain al Bukhari dan Muslim.
Contoh:
عن أبي سعيد الحذري قال : قال النبي صلى الله عليه وسلم لا تحل الصدقة لغني إلا لخمسة لعامل عليها أو رجل إشتراها بماله أة غارم أو غاز في سبيل الله أو مسكين تصدق عليه منها فأهدى منها لغني . رواه أحمد وأبو داود وابن ماجة. وصححه الحاكم، وأعل بالإرسال[29].
Dari Abu Sa’id al Khudry r.a., ia berkata; Rasulullah s.a.w. bersabda :
“Zakat itu tidak halal bagi yang kaya, melainkan untuk yang lima: Pengurus zakat, orang yang membeli barang zakat dan dengan hartanya, yang berhutang, yang berperang di jalan Allah, orang yang miskin yang menerimazakat lalu dihadiahkan kepada yang kaya”. Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan disahkan oleh Hakim, tapi dianggap ma’lul sebab mursal.
8. Ibnu Hajar banyak meringkas hadist yang panjang.
Contoh:
عن أبي هريرة رضي الله عنه أنّ النبي صلى الله عليه وسلم قال : إذا قمت إلى الصلاة فأسبغ الوضوء، ثم استقبل القبلة فكبّر، ثم إقرأ ما تيسر معك من القرآن، ثم اركع حتى تطمئن راكعا، ثم ارفع حتى تعدل قائما، ثم اسجد حتى تطمئن ساجدا، ثم ارفع حتى تطمئن جالسا، ثم اسجد حتى تطمئن ساجدا، ثم افعل ذلك في صلاتك كلها . أخرجه السبعة، وللفظ للبخاري، ولابن ماجة بإسناد مسلم : حتى تطمئن قائما[30].
Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda:
“Apabila engkau bangkit hendak sembahyang, maka sempurnakanlah wudlu, lalu menghadap kiblat, lalu takbir, kemudian bacalahyang mudah bagimu dari ayat-ayat Qur’an, lalu ruku’lah sehingga tuma’ninah dalam ruku’, kemudian bangkitlah sehingga engkau berdiri tegak, kemudian sujudlah sehingga tuma’ninah dalam sujud, kemudian lakukanlah yang demikian itu dalam sembahyangmu semuanya”. Dikeluarkan oleh Imam Tujuh, dan lafadz ini dalam riwayat yang Bukhari. Dan dalam riwayat Ibn Majah dengan sanad muslim: “….sehingga engkau tuma’ninah dalam berdiri”.
9. Tidak semua hadist yang terdapat di kitab ini memiliki kualitas Shahih, Ibnu Hajar menjelaskan kualitas sanad yang dha’if
Contoh:
عن طلحة بن مصرف عن أبيه عن جده رضي الله عنه قال : رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يفصل بين المضمضة والإستنشاق . أخرجه أبو داود بإسناد ضعيف [31].
Dari Thalhah bin Musharrif dari bapaknya dari kakeknya, ia berkata;
“aku melihat Rasulullah s.a.w. memisahkan antara berkumur dan mengisap air kehidung”. Dikeluarkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang lemah.

D. Kitab-Kitab Syarah Bulugul Maram
Banyak para ulama yang telah mensyarahi kitab ini, di antaranya adalah[32]:
- Muhammad bin Isma’il ash Shan’ani (1107 H) dengan karyanya Subul as Salam
- Abu al Khair Khan bin Nawab dengan karyanya Fath al ‘Alam
- Muhammad bin Yusuf al Ahdal dengan karyanya Syarh as Sayid Muhammad bin Yusuf al Ahdal
- Al ‘Alamah al Mauluwi Ahmad Hasan ad Dahlawi dengan karyanya Syarh al ‘Alamah al Mualuwi Ahmad Hasan ad Dahlawi.









Referensi

Abu Zahwu, Muhammad, al Hadis Wa al Muhadisun, Beirut: Dar al Fikr al ‘Arabi, t.th
al ‘Asqalani, Ibnu Hajar, Bulugul Maram Min Adilatil Ahkam, Surabaya: al Hidayah, t.th
Ash Shan’ani, Muhammad bin Isma’il, Subul as Salam Syarh Bulugul Maram Min Adilatil Ahkam, Bandung: Maktabah Dahlan, t. th
At Tahan, Mahmud, Ushul at Takhrij Wa Dirasah al Asanid, Riyadh: Maktabah al Ma’arif, 1417 H
Az Zahiri, Tsnallah, Taujih al Qari Ila al Qawa’id Wa al Fawaid al Ushuliyah Wa al Haditsiyah Wa al Isnadiyah Fi Fath al Bari, Beirut: Dar al Fikr, t. th

[1] Muhammad Abu Zahwu, al-Hadis Wa al-Muhadisun, (Beirut: Dar al Fikr al ‘Arabi, t.th), h 11-15
[2] Zawaid adalah kitab mushanaf yang mengumpulkan Hadis-hadis tambahan di sebagian kitab Hadis yang tidak terdapat di dalam kitab Hadis yang lainnya, seperti Zawaid Ibn Majah ‘Ala al-Ushul al-Khamsah yang berarti kitab yang mencakup Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Majah yang tidak terdapat dalam Kutub al-Khamsah (Shahih al Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al Nasa’I dan Sunan at Tirmidzi). Mahmud al-Tahan, Ushul al-Takhrij Wa Dirasah al-Asanid, (Riyadh: Maktabah: al-Ma’arif, 1417 H), h 104
[3] al-Haitsami, al-Maqsad al-‘Ali Fi Zawaid Abu Ya’la, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1413 H / 1993 M), juz 1, hal 13-15
[4] al-Haitsami, al-Maqsad al-‘Ali Fi Zawaid Abu Ya’la, juz 1, hal 29
[5] Muhammad Abu Zahwu, al-Hadis Wa al-Muhadisun, hal 438
[6] Sulaiman bin al-Asy’ats Abu Dawud al-Sajastani, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Dar al-Fikr, t.tt), kitab al-shalat, bab Fi al-sirj fi al-masajid, juz 1, hal 125
[7] Ahmad bin Ali Abu Ya’la, Musnad Abu Ya’la, (Damaskus: Dar al-Ma’mun li al-Turas, 1404 H), juz 4, hal 7
[8] Abu Bakar al-Haitsami, al-Maqsad al-‘Ali Fi Zawaid Abu Ya’la, juz 1, hal 18
[9] . Muhammad Abu Zahwu, al Hadis Wa al Muhadisun, (Beirut: Dar Al Fikr Al ‘Arabi, t.th), h 11-15
[10] . Tsnallah Az Zahiri, Taujih al Qari Ila al Qawa’id Wa al Fawaid al Ushuliyah Wa al Haditsiyah Wa al Isnadiyah Fi Fath Al Bari, (Beirut: Dar al Fikr, t. th), h 18-19
[11] . Tsnallah Az Zahiri, Taujih al Qari Ila al Qawa’id Wa al Fawaid al Ushuliyah Wa al Haditsiyah Wa al Isnadiyah Fi Fath Al Bari , h 20
[12] . Tsnallah Az Zahiri, , Taujih al Qari Ila al Qawa’id Wa al Fawaid al Ushuliyah Wa al Haditsiyah Wa al Isnadiyah Fi Fath Al Bari, h 22
[13] . Tsnallah Az Zahiri, , Taujih al Qari Ila al Qawa’id Wa al Fawaid al Ushuliyah Wa al Haditsiyah Wa al Isnadiyah Fi Fath Al Bari, h 23
[14] . Tsnallah Az Zahiri, , Taujih al Qari Ila al Qawa’id Wa al Fawaid al Ushuliyah Wa al Haditsiyah Wa al Isnadiyah Fi Fath Al Bari, h 28
[15] . Ibnu Hajar al ‘Asqalani, Bulugul Maram Min Adilatil Ahkam, (Surabaya: al Hidayah, t.th), h 10
[16] . Mahmud at Tahan, Ushul at Takhrij Wa Dirasah al Asanid, (Riyadh: Maktabah al Ma’arif, 1417 H), h 124
[17] . Muhammad Abu Zahwu, al Hadis Wa al Muhadisun, h 443
[18] . Muhammad Abu Zahwu, al Hadis Wa al Muhadisun, h 438
[19] . Ibnu Hajar al ‘Asqalani, Bulugul Maram Min Adilatil Ahkam, h 9. Yang dimaksud dengan “Mukhtasar” dalam redaksi di atas bukan mukhtasar dalam pengertian ringkasan, namun maksudnya kitab ini adalah kitab Mutawasith yang tidak terlalu besar dan juga tidak terlalu kecil.
[20] . Muhammad bin Isma’il ash Shan’ani, Subul as Salam Syarh Bulugul Maram Min Adilatil Ahkam, (Bandung: Maktabah Dahlan, t. th), h 3
[21] . Ibnu Hajar al ‘Asqalani, Bulugul Maram Min Adilatil Ahkam, h 52
[22] . Ibnu Hajar al ‘Asqalani, Bulugul Maram Min Adilatil Ahkam, h 10
[23]. Ibnu Hajar al ‘Asqalani, Bulugul Maram Min Adilatil Ahkam, h 54
[24] . Muhammad bin Isma’il ash Shan’ani, Subul as Salam Syarh Bulugul Maram Min Adilatil Ahkam, h 3
[25] . Ibnu Hajar al ‘Asqalani, Bulugul Maram Min Adilatil Ahkam, h 10
[26] . Ibnu Hajar al ‘Asqalani, Bulugul Maram Min Adilatil Ahkam, h245
[27] . Ibnu Hajar al ‘Asqalani, Bulugul Maram Min Adilatil Ahkam, h 329
[28] Ibnu Hajar al ‘Asqalani, Bulugul Maram Min Adilatil Ahkam, h 12
[29] Ibnu Hajar al ‘Asqalani, Bulugul Maram Min Adilatil Ahkam, h 135
[30] Ibnu Hajar al ‘Asqalani, Bulugul Maram Min Adilatil Ahkam, h 61
[31] Ibnu Hajar al ‘Asqalani, Bulugul Maram Min Adilatil Ahkam, h 22
[32] . Ibnu Hajar al ‘Asqalani, Bulugul Maram Min Adilatil Ahkam, h 5-6